TAPI, INI BUKAN TATAPAN RINDU
Memaafkan,
memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mengembalikan hal yang semula
utuh nampaknya sudah tak bisa. Tentang tatapan yang perlahan menghilang tanpa
aba-aba hingga lirih suara menghaturkan maaf secara tiba- tiba. Seharusnya
kalian jangan pernah percaya pada mereka yang sudah menghaturkan rasa. Tidak
peduli bertahun-tahun lamanya. Makanya, kadang aku kasihan melihat sepasang
insan yang sudah begitu dekat, karena gamau pengalaman sendiri kena ke orang
lain.
Setiap
jiwa mempunyai perjalanan asmara, bahkan mereka yang notabennya dianggap alim
dan menjauhi lawan jenispun pasti pernah merasakan. Manusiawi sebenarnya.
Lembaran ini akan kuceritakan tentang segelintir kebodohan serta pesan
kehidupan. Bahwa dua tahun lebih lamanya, aku percaya tentang seseorang yang
baik dari segi agama maupun tingkah lakunya. Namun, perjalanan panjang tentang
mempercayai seseorang terhenti ketika Tuhan telah menyadarkan.
Ya
memang benar peribahasa yang berbunyi “Kesetiaan
LELAKI diuji saat dia memiliki segalanya”. Kali ini, segalanya memang sudah
dia punya dari jabatan tingkat tinggi, hingga segala kebutuhan yang dengan
mudahnya terpenuhi dengan sekejap. Terlebih ketika wanita mulus merona datang
dikehidupannya. Begitulah masa, menunggu sang kuasa mewujudkan apa yang sudah
menuliskannya, jadi tetaplah menerima. Pagi ini, seperti biasanya duduk manis
menunggu mereka yang hendak menyerahkan seperangkat berkasnya. Alunan lagu didi
kempot menjadi teman setiap kerja. Ketika asyik membuka album liburan, aku
tersentak kaget.
Bapak
One berkata : Tolong Fotokopikan dua rangkap berkas ini, nanti kasihkan ke dia
ya. Mataku tertuju pada seseorang yang duduk, orang yang sangat lama tak
kutemui. Seketika teriakan pelopor keriuhan terdengar. “Jangan deg-degan ya”.
“Pokoknya harus kamu yang menuturkan penjelasan ke dia”. Oke sembari
kulaksanakan tugas untuk fotokopi, terbacalah namanya di surat permohonan yang
terkabulkan. Dalam hati berkata “Selamat
akan menempuh pendidikan dengan tidak mengeluarkan sepeser uang. Ah, kenapa
harus hari ini dia kemari bukan kemarin ataupun lusa.
Setelahnya,
kulantangkan memanggil namanya. Jiwa profesionalitas bekerja meski raga gugup
tak terkira. Kupanggil namanya dan kujelaskan dengan begitu singkatnya. Sambil
menunggu kekurangan deretan berkasnya seketika itu, aku mengingat hal yang
telah berlalu. Betapa bodohnya aku telah menaruh harapan pada seorang insan
padahal Tuhan telah menjamin sebuah kebahagiaan.
Hati
menguatkan sudahlah, mari lanjutkan perjuangan. Tentang tatapan tajam
sementara, itu bukan luapan rindu melainkan ujaran jiwa untuk menguatkan.
Terlebih ada sosok pendorong yang tidak lelah mengingatkan dari belakang.
Yogyakarta,
7 September 2019
S.R
Komentar
Posting Komentar